Pengaruh Penguasa dan Pengusaha terhadap Media

Gonjang-ganjing di divisi redaksi SCTV menjadi bahan diskusi di berbagai milis jurnalisme. Rosiana Silalahi tak lagi menjadi pemimpin redaksi (atau news director dalam dunia broadcast). Dia kini menjadi penasehat direktur untuk bidang redaksi. Jabatan pemred diambil alih oleh salah seorang direksi (pemilik) PT SCTV.
Bagi mereka yang berpengalaman bekerja di dunia media, di antaranya di SCTV-RCTI (waktu mereka masih bersaudara), maka amat memahami situasi penuh intrik di ruang redaksi.

Pertanyaannya adalah: apa motivasi pergantian pejabat, mutasi, rotasi, hire and fire (mempekerjakan dan memecat) di sebuah ruang redaksi? Karena ini tahun Pemilu Indonesia, politik menjadi isu yang amat signifikan di sini. Di industri media, hanya ada dua kekuatan besar yang mempengaruhi pemberitaan: keuntungan finansial atau keuntungan politik.

Bila TVRI, RCTI, dan SCTV sampai dengan 1997, digunakan sebagai corong Golkar (termasuk tidak menayangkan apapun kegiatan PDI dan PDIP), siapa di balik SCTV, TV One, Trans-Trans7, Metro, dll? Apakah tetap Golkar semua? Saya pernah mengalami, anak buah saya di SCTV Surabaya ditegor karena meliput kasus sebuah mall/plaza, yang ternyata ada sangkut pautnya dengan korporasi pemilik SCTV. Tak lama kemudian, rekan di RCTI mengalami blackout sekian detik saat siaran live, karena ada berita tentang skandal bank yang tidak berkenan di hati pemilik RCTI. Bank itu merupakan jaringan korporasi. Saya membayangkan, betapa paniknya presenter, produser dan pengarah acara ketika di tengah-tengah siaran ada telepon minta berita itu dicabut.

Soal cabut mencabut juga dialami SCTV waktu Adnan Buyung Nasution menuding-nuding Harmoko (Ketua MPR) pada tahun 1998 dengan kata-kata yang tak terdengar. Dari ekspresi wajah dan gesture tubuhnya, pastilah dia sedang memaki-maki. Namun kekuatan Orde Baru pada waktu itu masih berkuasa mencabut kabel audio SCTV sehingga rakyat tak perlu mendengar betapa Ketua MPR dipermalukan. Toh, kuasa di ruang redaksi tak hanya terjadi saat Orba. Di era Reformasi, seorang petinggi stasiun televisi melarang ditayangkannya sosok Amien Rais, yang waktu itu amat populer. Ini tentu menyalahi kriteria kelayakan berita: prominence, actual, important, dan magnitude. Pemilik stasiun televisi memiliki agenda setting berbau politik. Apa boleh buat.

Pengalaman Phillip Meyer di Amerika Serikat, juga menarik sebagai bahan perbandingan. Kisahnya (diceritakan dalam bukunya Ethical Journalism) tentang kekuatan/pengaruh pemasang iklan. Pada suatu hari dia berdebat sengit dan berlarut-larut dengan seorang dealer mobil, berkaitan tentang siapa yang akan membayar urusan dokumen transaksi. Ketika dealer mobil itu menanyakan apa pekerjaannya, Meyer melihat peluang untuk memenangkan perdebatan. Dengan bangga dia menyebutkan pekerjaannya: wartawan Miami Herald. Di luar dugaannya, bukannya memenangkan perdebatan, Meyer dikejutkan oleh reaksi sang dealer mobil: “Oh boy, mestinya Anda berhati-hati. Tahukah Anda, berapa banyak kami beriklan di Herald setiap minggu?” Dealer mobil itu, dalam posisi pengiklan, merasa dapat mempengaruhi content suratkabar. Dan, bukankah kenyataannya demikian?

Pengalaman lain dialami Majalah Tempo. Seperti ditulis Ignatius Haryanto (pengamat media) pada tahun 2008, Tempo pernah tersandung masalah iklan. Tempo edisi 23 April 2006 memuat hasil investigasi atas proyek Kemayoran yang ditulis sepanjang 15 halaman. Minggu berikutnya muncul iklan/advertorial 8 halaman yang isinya membantah isi investigasi Tempo seminggu sebelumnya. Pekan depannya lagi, Tempo memuat “Surat dari Penerbit” yang mengaku keliru dalam soal penerimaan iklan tersebut dan menyatakan telah mengembalikan uang hasil iklan tersebut. Ini hanya sebuah contoh lain betapa pemasang iklan bisa mempengaruhi bahkan menentukan isi redaksi. Di banyak media yang lebih kecil, ini adalah fakta yang lazim sehari-hari. Kalau Kompas bisa menulis feature sains tentang notebook atau mobil (dengan merk-merk tertentu), koran-koran daerah asyik dengan real estate, rumah makan, salon kecantikan, wedding organizer, dll.
Selain campur tangan pemasang iklan dan negara/politik, peran pemilik juga amat besar, seperti dibahas oleh Michael Parenti dalam bukunya Inventing Reality: The Politics of News Media. Rupert Murdoch mengakui, “Para editor boleh saja memberi masukan, tapi saya yang membuat keputusan.” Otis Chandler, pemilik Los Angeles Times juga mengatakan: “Sayalah pemimpinnya. Saya menentukan kebijakan dan tak akan repot-repot menaruh orang yang tak setuju dengan saya di sekeliling saya.” Pengaruh pemilik media ini bisa saja berdasarkan pandangan politik maupun filosofi ‘market-driven’ (asal laku keras).

Tak banyak pemilik yang mengambil peran pinggiran seperti almarhumah Katherine Graham dari Washington Post. Atas pemberitaan kasus Watergate yang terus menerus dan selama berbulan-bulan dilakukan sendirian (tak ada media lain yang mengikuti isu itu), dia tentu saja mendapat tekanan dari Gedung Putih. Namun suatu saat dia berkata: “Lebih mudah bagiku berhadapan dengan Presiden daripada dengan orang-orang di Lantai Lima (ruang redaksi).” Dukungannya terhadap berita ‘sendirian’ oleh dua reporter non-Gedung Putih inilah yang menjunjung kredibilitas Washington Post di daftar teratas surat kabar AS.

SCTV telah memiliki kredibilitas yang tinggi dengan slogannya ‘terkini’ dan ‘terpercaya’ yang diikuti banyak stasiun teve lain itu. Untuk sekian lama SCTV leading di ranah pemberitaan televisi dengan Liputan Enam Petangnya yang disegani oleh para kompetitor. Namun dengan bergantinya kepemimpinan di redaksi, yang bukan tidak mungkin didorong oleh kepentingan politik, SCTV mempertaruhkan masa depan profesionalitasnya sendiri. (Inilah.com dari http://aneh22.blogspot.com/2009/03/siapa-yang-mempengaruhi-berita.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

3