Persaingan Dua Taipan Media Bakri dan Paloh dalam Politik

Paling sedikit dua orang pemilik televisi nasional telah terjun ke dunia politik.  Mereka adalah Surya Paloh,  pemilik Metro TV dan media grup, dan Aburizal Bakrie pemilik Anteve dan TV One. Keduanya mengendalikan televisi yang berbasis pada berita dan penyebaran informasi yang menuntut independensi yang tinggi. Karena itulah muncul kecemasan di kalangan masyarakat, profesi mereka sebagai politisi bakal menimbulkan bias kepentingan politik pada media masing-masing.

Sebelum mendirikan stasiun televisi Anteve dan TV One, Aburizal Bakri sudah lama menjadi aktivis Partai Golkar. Pada awalnya tak banyak orang yang memasalahkan karena Anteve lebih berorientasi pada hiburan dan Bakri posisinya tak terlalu strategis dalam partai. Tapi kini ia telah menjadi orang nomor 1 di Golkar dan siap bertarung dalam pemilu 2014 dan ia mendirikan TV One yang berorientasi berita. Akankah Anteve dan TV One bakal terseret kepentingan politik Bakri?

Pertanyaan yang sama muncul pada diri Surya Paloh. Ia sudah memiliki  Metro TV ketika masih menjadi aktivis Partai Golkar. Kini ia mendirikan Partai Nasional Demokrat yang siap bertarung dalam pemilihan Presiden tahun 2014.

Baik Aburizal Bakri maupun Surya Paloh bukanlah sekedar pengusaha, tapi mereka adalah taipan atau pengusaha besar yang usahanya menggurita. Kalau Pak Harto saja yang hanya bermodal kekuasaan politik bisa mendominasi Indonesia sampai 30 tahun, bagiamana lagi dengan seorang figure yang tak hanya memiliki kekuasaan politik tapi juga media dan uang?

Maka kita memang harus berhati-hati menyikapi tampilnya kedua tokoh itu dalam pentas politik kita. Baru menjadi Ketua Partai saja, dampaknya sudah mulai kentara pada media mereka masing-masing. Sebagai contoh Metro TV cukup sering menyiarkan kegiatan politik Surya Paloh baik ketika di Golkar maupun saat di Nasional Demokrat. Sering berhadapan dengan partai lain, Metro TV tampak sering sangat galak, khususnya terhadap Golkar maupun pemerintahan SBY yang didukung Partai Demokrat. Sebaliknya stasiun televisi ini terlalu menonjol-nojolkan aktivitas bosnya sendiri. Sementara Anteve dan TV One sangat lunak dan bahkan berpihak ketika  berhadapan dengan isu PSSI Nurdin Khalid dan kasus Gayus Tambunan.

Aliansi Jurnalis Independen menerima sejumlah keluhan dari masyarakat menyangkut pemberitaan bertendensi mengabaikan aspek keberimbangan, obyektivitas, dan dikhawatirkan mengancam independensi wartawan. Seperti diketahui, menjelang Musyawarah Nasional Partai Golongan Karya (Munas Golkar) 4-7 Oktober 2009, muncul paket pemberitaan yang diwarnai persaingan politik dari dua pemilik media televisi berita, yakni TVOne dan METRO TV. Jakarta, 29 September 2009 (http://www.sabili.co.id/aspirasi-anda/statemen-aji-soal-pertempuran-politik-tvone-vs-metro-tv)

Ketika keduanya baru menjadi pemilik media saja, media nasional dan bahkan KPI  sudah bersikap ewuh pakewuh terhadap bias kepentingan politik yang muncl pada media milik mereka.  KPI  tampaknya tidak memiliki keberanian dengan memberikan teguran tertulis maupun pemanggilan.. Apalagi sampai memberikan sanksi

Ezki Suyanto, Koordinator Bidang Isi Siaran KPI Pusat, menyatakan bahwa KPI Pusat mendapat banyak pengaduan mengenai netralitas pemberitaan di dua stasiun TV berita itu (Metro TV dan TV One). Ezki menyampaikan kekuatiran, jika kondisi pemberitaan tidak berimbang dan mengundang banyak kritik maka dikhawatirkan kebebasan pers yang sudah dinikmati selama ini dapat terampas.

Tapi sayangnya KPI hanya melakukan pemanggilan saja. Dari  lebih  50 peringatan tertulis yang dilayangkan KPI kepada manajemen TV, tak satupun menyangkut masalah politik. Umumnya berkisar pada masalah kekerasan, pornografi, klasifikasi acara, dan mistik. (http://www.kpi.go.id)

Akhirnya kita semualah  yang menentukan apakah perlu seseorang yang sudah memiliki uang dan kekuasan media yang begitu besar, masih akan kita beri kekuasaan politik. Ingat kekuasaan absolute akan cenderung korup. (M. Soedarsono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

3