Sang Tiran itu Bernama Televisi


Ketika George Orwell menulis novelnya yang legendaris 1984, dunia seakan disadarkan akan bahaya kehadiran seorang tiran dengan pemerintahan totaliternya. Dalam negara 1984,  semua sektor kehidupan dikendalikan pusat—sang Big Brother. Media dibatasi, informasi disensor, dan kehidupan diarahkan. Buku dilarang terbit, sedangkan televisi hanyalah tayangan yang berisi siaran langsung konvensi-konvensi partai penguasa—satu-satunya partai.


Runtuhnya tembok Berlin, yang diikuti oleh rontoknya negara-negara berideologi kiri, seakan mengingatkan orang bahwa pada esensinya demokrasilah yang menang. Demokrasi adalah ideologi yang lebih sesuai dengan kodrat dasar manusia. Optimisme yang muncul begitu memboyakkan sehingga  Francis Fukuyama sampai pada kesimpulan bahwa sejarah telah berakhir dan yang keluar sebagai pemenang adalah demokrasi kapitalisme Amerika. Masyarakat bebas di mana apa saja boleh dilakukan dengan bebas.

Namun, si balik visi muram Orwell, itu sebenarnya juga bergentayangan visi Aldous Huxley dalam The Brave New World --yang kurang tenar namun sebenarnya tak kalah menggentarkan.  Orang begitu sibuk menghindari visi suram Orwell, yang mengingatkan kita akan bahaya totalitarianisme dan ancaman dari penindasan sang penguasa, namun lupa pada peringatan Huxley, yang tak kalah mencekam.

Huxley, tak memerlukan sosok Big Brother untuk mengasingkan manusia dari kedewasaan, ketidakberdayaan, dan dari sejarahnya sendiri. Menurut Postman—dalam  Amusing Ourselves to Death—dalam visi Huxley, manusia justru mencintai sang penindas, serta memuja berbagai teknologi yang memandulkan kemampuan berpikirnya.

Bila selama ini kita—seperti Orwell-- mengecam segala bentuk pelarangan buku, Huxley justru memprihatinkan lenyapnya alasan untuk melarang penerbitan buku, karena minat baca memang telah punah. Orwell mencemaskan penguasa yang menjauhkan kita dari informasi, membungkam media, namun Huxley justru mengkhawatirkan mereka yang menjejali kita  dengan begitu banyak informasi sampai kita menjadi pasif dan egois.

Penggerak visi Huxley yang gemerlap namun mencekam ini bukanlah sang penguasa dengan bedil, tank, dan penjara. Tapi sesuatu yang menghibur dan menjanjikan kenikmatan luar biasa. Lewat visi Huxley orang dibuat tak berdaya dan lumpuh karena menghibur diri sampai mati!

Tentu saja,  tak ada yang salah bila kita tetap bermain-main dengan hiburan. Seperti kata seorang psikiater, kita semua senang bermimpi. Masalahnya baru timbul bila kita tak pernah bangun dari mimpi tersebut, dan  menganggap mimpi itu nyata.

Televisilah yang membuat visi Huxley ini menjadi ‘’kenyataan.’’ Televisi menggabungkan telegrafi (kekinian), yang menjadi ciri dunia komunikasi abad 19 dengan fotografi (citra), di awal abad 20,  dalam satu kesatuan yang koheren. Televisi membawa serta bias epistemologi telegraf dan foto,  sebagai suatu citra kekinian hingga menjadi kesatuan yang membahayakan. Dan televisilah kemudian yang membawa bias ini masuk ke dalam rumah kita.

Anak-anak kita adalah generasi yang menjadikan televisi sebagai guru pertama mereka. Guru yang familiar, mudah didapat, dan menghibur. Bagi banyak anak, televisi merupakan kawan yang nyaris tak tergantikan. Televisi adalah pusat komando epistemologi baru. Tak ada pemirsa yang terlalu muda atau terlalu tua untuknya.

Tak ada masalah kemiskinan yang terlalu menyedihkan yang membuat orang melewatkan televisi. Tak ada masalah pendidikan  yang begitu mulia sehingga tak tersentuh oleh televisi. Dan lebih dari semua itu, tak ada topik politik, pendidikan, ilmu, agama, olah raga, sampai kematian, yang tak pernah ditayangkan televisi. Ini artinya, semua pemahaman publik atas semua topik ini dibentuk oleh bias televisi. Lewat televisi, semua diskursus publik menjadi sekadar seni pertunjukkan.

Suatu ketika, seperti dikutip Postman, rohaniawan Billy Graham, yang bersama pelawak George Burns,  merayakan 80 tahun suksesnya dalam dunia showbiz, mengataan bahwa dengan melawak Burns sebenarnya telah menyiapkan diri untuk sukses dunia akhirat. ‘’Karena Tuhan menyukai mereka yang bisa membuat orang lain tertawa,’’ katanya. Namun, dalam soal ini, Graham, seharusnya mengucapkan nama stasiun televisi NBC, bukan Tuhan.

Televisi adalah pusat komando kehidupan yang setiap hari membanjiri kita dengan serangkaian informasi dan petunjuk. Dari televisi kita mendapat informasi film mana yang harus ditonton, majalah apa yang perlu dibeli, baju apa yang menarik dipakai, berita mana yang perlu disimak, sampai bagaimana kita harus beribadah dengan benar. Televisi mengatur lingkungan komunikasi kita, sesuatu yang tak dapat dilakukan oleh medium lain. 

Televisi, seperti kata Roland Barthes, telah menjadi suatu ’’mitos.’’ Dan mitos, lanjut Barthes, adalah cara memahami dunia yang tidak problematik, semuanya simpel saja, dan tanpa kita sadari, karena menganggapnya sebagai sesuatu yang alami—sudah dari sononya—kata orang Jakarta..

Demikianlah,  televisi hadir seperti hadirnya visi Huxley, dalam keseharian kita. Kehadirannya tak terasa lagi. Kita tak meragukan kebenaran apa saja yang kita lihat di layar televisi, tak menyadari pula sudut pandang ’’miring’’ yang dipakainya.

Televisilah yang memberi tahu kita siapa idola anak-anak kita, apa yang paling enak dipakai sarapan, obat sembelit apa yang paling manjur, mobil apa yang paling bergengsi, bumbu masak apa yang membuat mertua ketagihan, setan mana yang paling jahat,  sampai calon presiden mana yang harus dipilih karena ganteng dan gaul.

Dalam televisi, semua diskursus publik mengambil bentuk hiburan. Semua aspek kehidupan kita, politik, agama, budaya, olahraga, pendidikan, perdagangan, sampai kematian pun, diubah menjadi sekadar perpanjangan dunia showbiz.

Kita ingat bagaimana kematian Diana Spencer menjadi tayangan yang paling banyak disaksikan di seluruh dunia—sekaligus paling mendatangkan untung bagi stasiun televisi yang menayangkannya.

Belum lama ini juga kita menyaksikan bagaimana kematian Sukma Ayu jadi begitu beda di televisi. Televisi telah melahirkan kembali seorang Sukma Ayu yang baru sama sekali, justru ketika kematian menjemputnya.
Televisi selalu melahirkan realitas baru yang menggantikan realitas sesungguhnya. Realitas baru ini begitu menghibur, menyeret emosi, dan kita tak butuh pikiran untuk bisa mengikutinya—karena semua yang serius mencair di dalam diskursus hiburan.

Begitu kuatnya televisi menyengkeram sisi-sisi kehidupan kita sehingga Presiden Richard Nixon,  pernah mengeluh karena yakin dirinya kalah dalam pemilihan karena disabot juru rias televisinya saat akan tampil. Seperti juga Senator Edward Kennedy pernah disarankan oleh juru kampanyenya untuk menurunkan berat badannya hingga 10 kilogram—supaya bisa tampil menarik di televisi-- bila ingin mencalonkan diri sebagai presiden. Dan konon, karena gagal menurunkan berat badannya inilah dia urung jadi calon presiden—bukan karena takut ‘’kutukan’’ bahwa keluarga Kennedy yang jadi presiden akan mati terbunuh.

Dalam masyarakat kapitalisme lanjut seperti Amerika, citra, tampilan memang lebih penting. Bagaimana seorang kandidat muncul dan ’’menaklukkan’’  televisi adalah lebih penting daripada program-program serius yang hanya akan didengar sepintas lalu. Meski ini tak pernah dibahas dalam konstitusi AS, orang gemuk tampaknya akan lebih mudah tersisih dari pemilihan pejabat tinggi. Begitu juga orang botak dan mereka yang penampilannya tak bisa dibenahi oleh juru rias akan tersisih lebih cepat.

Hal seperti ini juga sudah menghinggapi para penyiar televisi, yang makin sering berkutat dengan hairdryer dan jelly rambut ketimbang skrip berita yang harus ditulis dan dibacanya. Mereka yang tak punya tampilan menarik, jangan harap bisa tampil membawakan ‘’berita hari ini’’. sebaliknya, mereka yang punya daya tarik di depan kamera, boleh berharap akan menjadi bagian dari dunia selebriti.

Thorstein Veblen,  juga sudah mengingatkan kita hampir seratus tahun yang lalu; bahwa kegunaan sebuah produk tidaklah begitu penting dibandingkan penampilannya. Ini berarti, sebagian besar prinsip-prinsip kapitalisme yang dipuja Adam Smith dan dicerca Karl Marx, sebenarnya sudah dengan sendirinya tak relevan. Bahkan orang Jepang yang terkenal suka kerja keras dan membuat barang dengan kualitas unggul itupun tahu bahwa bermain di sektor ekonomi lebih merupakan seni pertunjukan ketimbang ilmu. Mungkin karena itulah, anggaran terbesar Toyota bukanlah pada riset dan pengembangan, tapi pada periklanan televisi!

Begitulah televisi mengarahkan hidup kita dengan cara yang sangat menghibur—berbeda dengan Big Brother—sang penguasa totalitarian, yang mengarahkan hal yang sama dengan bedil dan pentungan.

Demkian besar arti televisi dalam kehidupan kita, sehingga pertanyaan apakah televisi mempengaruhi kita jadi terdengar ganjil, seperti kalau kita bertanya apa guna telinga dan mata bagi kita.

Kita tak pernah lagi bicara tentang televisi, selain apa yang muncul di layarnya. Televisi sudah kita terima sebagai sesuatu yang alami. Bila beberapa tahun lalu kita masih mendengar orang bertanya apa dampak televisi bagi kebudayaan kita, kini televisi telah menjadi bagian dari kebudayaan kita, sehingga dunia cilukba yang dibangunnya di sekitar kita tak lagi kelihatan aneh.

Dunia cilukba, karena tayangan televisi mengubah diskurus publik menjadi sekadar seni menghibur tanpa batas. Dunia cilukba hadir, seakan dengan mengingatkan orang bahwa kita terlalu lama tenggelam memperjuangkan kebebasan menentang tirani, namun mengabaikan nafsu manusia akan hiburan. Dan televisi hanya berbicara dalam satu suara, yaitu suara hiburan.

Itulah yang mencemaskan, ketika kebenaran hilang tertimbun lautan informasi yang tak relevan, kita akan menjadi bagian dari mayarakat yang remeh temeh. Kita mungkin tak perlu lagi khawatir akan kehancuran  yang disebabkan oleh hal-hal yang kita benci, namun perlu cemas akan kehancuran yang disebabkan hal-hal yang kita sukai.



1 komentar:

Artikel Terbaru

3